Kesehatan

Selasa, 17 Desember 2019

IURAN BPJS KESEHATAN NAIK, OBAT DEVISIT YANG PICU MASALAH BARU
Mulai 1 Januari 2020, iuran BPJS Kesehatan naik hingga lebih dari dua kali lipat. Kenaikan ini disinyalir sebagai akibat kinerja keuangan BPJS Kesehatan yang terus merugi sejak lembaga ini berdiri pada 2014. Oleh karena itu, diperlukan stimulus agar lembaga tersebut dapat tetap berjalan melayani masyarakat yang membutuhkan fasilitas kesehatan. Namun, di sisi lain, kenaikan premi BPJS Kesehatan juga bisa menimbulkan persoalan lainnya. Kenaikan premi BPJS Kesehatan ini diatur di dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang ditandatangani pada 24 Oktober 2019. Dalam Pasal 34 beleid tersebut diatur bahwa kenaikan iuran terjadi terhadap seluruh segmen peserta mandiri kategori pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP). Adapun besaran iuran yang harus dibayarkan yaitu Rp 160.000 untuk kelas I dari sebelumnya Rp 80.000, sedangkan pemegang premi kelas 2 harus membayar Rp 110.000 dari sebelumnya Rp 51.000. Sementara itu, kelas 3 sedikit lebih beruntung karena kenaikan yang dialami lebih kecil, yakni dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000. Tahun ini, BPJS Kesehatan diprediksi akan mengalami defisit hingga Rp 32,8 triliun. "Jangan ragu iuran naik, defisit tak tertangani. Ini sudah dihitung hati-hati oleh para ahli," kata Iqbal di Jakarta, Sabtu (2/11/2019). Namun, bukan kali ini saja defisit terjadi. Bahkan, sejak lembaga itu berdiri sudah mengalami defisit hingga Rp 3,3 triliun. Defisit berlanjut pada 2015 menjadi Rp 5,7 triliun dan semakin membengkak menjadi Rp 9,7 triliun pada 2016. Sementara pada 2017, defisit hanya sedikit mengalami kenaikan yakni menjadi Rp 9,75 triliun. Adapun pada 2018, defisit yang dialami mengalami penurunan menjadi Rp 9,1 triliun. Iqbal mengatakan, persoalan defisit ini tidak akan selesai pada tahun ini. Kendati demikian, ia optimistis masalah keuangan itu bisa selesai pada tahun depan. Bahkan, diproyeksikan keuangan BPJS Kesehatan bisa surplus hingga Rp 17,3 triliun. "Di 2020 diperkirakan (keuangan BPJS Kesehatan) surplus. Tentu hal itu bisa terjadi dibarengi dengan perbaikan," ucap dia. Sementara itu, Wakil Presiden Ma'ruf Amin menilai, kenaikan iuran ini sebenarnya merupakan cara pemerintah untuk berkolaborasi dengan masyarakat dalam memberikan pelayanan kesehatan yang prima. Dengan kenaikan ini, masyarakat yang sehat dan memiliki kemampuan lebih, dapat membantu masyarakat yang sakit dan yang lebih membutuhkan. "Sebab kala orang iuran BPJS itu kan untuk dirinya sendiri. Yang tidak miskin itu untuk dirinya sendiri. Andai kata dirinya tidak memerlukan, sehat terus, juga untuk menolong orang lain. Artinya BPJS itu bentuk layanan sosial baik dari pemerintah maupun masyarakat," kata Ma'ruf di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Jumat (1/11/2019). Tak ada jaminan pelayanan meningkat Warga berjalan di lobi kantor Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Jakarta Timur, di Jakarta, Rabu (30/10/2019). Presiden Joko Widodo resmi menaikan iuran BPJS Kesehatan sebesar 100 persen yang akan berlaku mulai 1 Januari 2020 bagi Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) dan peserta bukan pekerja menjadi sebesar Rp42 ribu per bulan untuk kelas III, Rp110 ribu per bulan untuk kelas II dan Rp160 ribu per bulan untuk kelas I. Presiden Joko Widodo resmi menaikan iuran BPJS Kesehatan sebesar 100 persen yang akan berlaku mulai 1 Januari 2020 bagi Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) dan peserta bukan pekerja menjadi sebesar Rp42 ribu per bulan untuk kelas III, Rp110 ribu per bulan untuk kelas II dan Rp160 ribu per bulan untuk kelas I. Sejatinya, kenaikan sebuah iuran dibarengi dengan peningkatan pelayanan kepada mereka yang membayarnya. Hal itu pula yang ditekankan Wakil Ketua Komisi IX Nihayatul Wafiroh. Menurut dia, selama ini masyarakat kerap mengeluhkan pelayanan yang diberikan rumah sakit kepada pasien BPJS Kesehatan. "Jangan sampai kenaikan BPJS ini hanya sekadar naik secara jumlah iurannya, tapi pelayanannya tidak berubah," kata Nihayatul di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (30/10/2019). Politisi PKB ini mengaku tak sepakat dengankenaikan ini. Sebab, ia khawatir ini hanya menjadi dalih pemerintah untuk menutupi defisit anggaran BPJS Kesehatan. "Kita tidak mau kalau hanya naik untuk menutupi kekurangan, tapi tidak ada kenaikan dalam hal pelayanan," ucap dia. Baca juga: Iuran BPJS Kesehatan Naik, IDI: Belum Tentu Pelayanan Naik Di lain pihak, Wakil Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Adib Khumaidi menduga, kenaikan ini tak lebih dari sekadar 'gali lubang, tutup lubang'. Artinya, risiko terjadinya defisit anggaran masih sangat mungkin terjadi kembali pada kemudian hari. "Yang kita takutkan iurannya akan menutup defisit saja, tapi memang perlu negara langsung mengatasi terkait masalah defisit ini," kata Adib dalam sebuah diskusi di Jakarta, Sabtu (2/11/2019). Ia juga ragu bahwa kenaikan ini akan diikuti dengan peningkatan pelayanan kesehatan yang diberikan rumah sakit. Sebab, keputusan pemerintah menaikkan iuran ini tak lebih didasarkan pada persoalan menutupi defisit semata. "Saya masih belum bisa mengatakan bahwa kenaikan iuran akan berdampak pada kualitas pelayanan baik karena konsepnya hanya berbicara konsep mengatasi defisit saja," ujar dia. Meski demikian, ia sepakat bahwa persoalan defisit ini harus segera ditangani. Apalagi, banyak tenaga medis yang belum menerima bayaran akibat tunggakan pembayaran premi. Keterlambatan itu pulalah yang pada akhirnya turut menjadi faktor kurang maksimalnya pelayanan kesehatan yang diberikan kepada pasien yang membutuhkan. "Problem di dalam kesehatan sekarang dalam sistem pelayanan kondisinya adalah emergency in health care, indanger in health care," ucap dia. Di lain pihak, alih-alih mengatasi persoalan defisit keuangan, kenaikan iuran BPJS Kesehatan juga berpotensi menimbulkan persoalan baru di lapangan. Koordinator BPJS Watch Indra Munaswar mengatakan, kenaikan ini bisa semakin menekan masyarakat yang tidak mampu dalam membayar premi. Ia mengaku, BPJS Watch telah menerima aduan masyarakat dari berbagai daerah yang merasa khawatir dengan naiknya iuran ini. Kekhawatiran ini terutama dirasakan oleh mereka yang tidak terdaftar sebagai peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI). "Kan banyak yang tidak mampu tapi tidak semua ter-cover kan oleh APBD, tidak semua ter-cover oleh APBN sebagai PBI. Nah kalau sudah begitu bagaimana? Padahal dia sakit," kata Indra. Baca juga: Kenaikan Iuran BPJS Dinilai Akan Bebani Peserta Mandiri Kategori Kurang Mampu Hal senada disampaikan Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi. Menurut dia, ada dua fenomena yang mungkin akan muncul pascakenaikan iuran ini. Pertama, masifnya masyarakat menurunkan kelas mereka karena merasa tidak mampu membayar premi yang dibebankan. "Misalnya dari kelas satu turun ke kelas dua dan seterusnya," kata Tulus dalam keterangan tertulis, Rabu (30/10/2019). Fenomena kedua yaitu munculnya tunggakan yang lebih besar, khususnya dari golongan mandiri yang saat ini tunggakannya telah mencapai 46 persen. "Jika kedua fenomena itu menguat, maka bisa menggegoroti finansial BPJS Kesehatan secara keseluruhan," ucap dia. anggota Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Perssi) Hermawan Saputra mengkhawatirkan, masifnya migrasi kelas para peserta jaminan kesehatan ini dikhawatirkan menyebabkan rumah sakit semakin kewalahan dalam menangani pasien, sehingga memunculkan persoalan lain. Sebab, para peserta BPJS Kesehatan diduga akan memilih turun ke kelas 3 yang sebetulnya sudah penuh diisi oleh peserta BPJS Kesehatan yang bertatus penerima bantuan iuran. Padahal, sudah sering ditemui pula kasus-kasus di mana rumah sakit terpaksa menolak pasien lantaran daya tampung sudah penuh. "Ini kekhawatiran ya, kekhawatiran kami akan makin banyak yang tidak tertangani," ujar Hermawan. Cleansing Suasana pelayanan di kantor BPJS Ungaran. Masyarakat memertimbangkan turun kelas agar tetap jadi anggota BPJS. Suasana pelayanan di kantor BPJS Ungaran. Masyarakat memertimbangkan turun kelas agar tetap jadi anggota BPJS. Memberikan pelayanan kesehatan yang baik sudah menjadi tanggung jawab pemerintah kepada masyarakat. Bahkan, di dalam Tap MPR X Tahun 2001, ada amanat yang mewajibkan pemerintah mengalokasikan anggaran kesehatan sebesar 15 persen di dalam postur APBN. Untuk mengatasi beban pemerintah yang terlalu besar, Tulus menyarankan agar pemerintah dan manajemen BPJS melakukan langkah langkah strategis, seperti melakukan cleansing data golongan Penerima Bantuan Iuran (PBI). Hal ini untuk menyisir para peserta PBI yang salah sasaran, sehingga bantuan yang diberikan dapat lebih dioptimalkan untuk mereka yang tidak mampu. "Di lapangan, banyak anggota PBI yang diikutkan karena dekat dengan pengurus RT/RW setempat. Jika cleansing data dilakukan secara efektif, maka peserta golongan mandiri kelas III langsung bisa dimasukkan menjadi peserta PBI. Dari sisi status sosial ekonomi golongan mandiri kelas III sangat rentan terhadap kebijakan kenaikan iuran," ucap dia.